Rabu, 25 Januari 2017

Bahan pangan organik

Bahan pangan organik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Anggota sebuah koperasi di Toronto yang saling berbagi bahan pangan organik dalam suasana kekeluargaan. Bahan pangan organik dapat ditanam sendiri di perkotaan. Lihat pertanian urban

Area yang khusus menjajakan bahan pangan organik, dalam Taipei Food Fair 2008
Bahan pangan organik adalah bahan pangan yang diproduksi dengan menggunakan metode pertanian organik, yang membatasi input sintetik modern seperti pestisida sintetik dan pupuk kimia. Penggunaan pestisida organik seperti toksin Bacillus thuringiensis masih digunakan. Bahan pangan organik juga tidak diproses menggunakan iradiasi, pelarut industri, atau bahan tambahan makanan kimiawi.[1] Gerakan pertanian organik muncul pada tahun 1940an menanggapi industrialisasi pertanian yang kini disebut dengan Revolusi Hijau.[2] Kini berbagai negara di dunia menerapkan kebijakan pangan seperti pelabelan sertifikasi organik agar suatu bahan pangan dapat dijual ke konsumen sebagai "bahan pangan organik". Dengan regulasi ini, bahan pangan organik harus diproduksi dengan cara yang sesuai dengan standar organik yang diterapkan oleh pemerintah suatu negara dan organisasi internasional.
Berbagai bukti memberikan hasil yang beragam mengenai pembuktian apakah bahan pangan organik lebih aman dibandingkan bahan pangan konvensional[3][4][5][6][7][8][9] maupun lebih baik dari segi rasa.[3][5]

Daftar isi

Makna dan asal kata

Pada awalnya, pertanian adalah berbasis organik. Bahan kimia yang digunakan pada rantai produksi pangan mulai diperkenalkan pada awal abad ke-20.[10] Gerakan pertanian organik muncul pada tahun 1940an menanggapi industrialisasi pertanian.
Walter James, Baron ke-4 Northbourne menggunakan istilah pertanian organik di dalam bukunya yang berjudul Look to the Land (1940), yang berasal dari konsep pertanian organik miliknya yang menjelaskan pendekatan holistik dan seimbang secara ekologis pada pertanian, kontras dengan istilah yang ia sebut sebagai pertanian kimiawi yang bergantung pada "kesuburan yang diimpor" dan tidak mampu berdiri sendiri.[11] Hal ini berbeda dengan penggunaan istilah "organik" di dalam sains yang mengacu pada sekumpulan molekul yang mengandung karbon. Molekul dari kelompok senyawa organik tersebut berada pada semua hal yang dapat dimakan, namun berbagai senyawa pestisida sintetik juga merupakan senyawa kimia organik.

Definisi legal


National Organic Program yang dijalankan oleh USDA bertanggung jawab terhadap definisi legal dari organik di Amerika Serikat dan melakukan sertifikasi organik
Bahan pangan organik adalah sebuah industri yang mengatur dirinya sendiri dengan pemerintah yang mengawasi di beberapa negara. Saat ini, beberapa negara mengharuskan produsen bahan pangan yang ingin menjual produknya dengan label "organik" harus mendapatkan sertifikasi khusus yang mengatur tata cara produksi mereka berdasarkan definisi standar pemerintah.
Di Amerika Serikat, produksi bahan pangan organik adalah sebuah sistem yang dikelola berdasarkan Akta Produksi Bahan Pangan Organik tahun 1990.[12] Jika hewan ternak dilibatkan, baik sebagai penghasil produk hewan maupun produk samping dan tenaganya, maka hewan ternak harus mendapatkan akses secara berkala ke lahan penggembalaan dan tidak menggunakan antibiotik dan hormon pertumbuhan.[13]
Makanan organik yang terproses umumnya hanya mengandung komposisi yang terdiri dari bahan pangan organik pula. Jika terdapat komposisi bahan pangan organik, maka harus dijelaskan berapa persen yang organik. USDA mengharuskan setidaknya 95% organik untuk dapat tetap disebut bahan pangan organik.[14] Bahan pangan organik juga harus bebas dari bahan tambahan makanan kimiawi, bebas dari senyawa kimia, iradiasi, dan bahan pangan termodifikasi secara genetik. Pestisida diizinkan selama bukan merupakan pestisida sintetik.[15] Namun, di bawah standar organik pemerintah Amerika Serikat, jika hama dan gulma tidak mampu dikendalikan melalui praktik pengelolaan ataupun melalui pestisida dan herbisida organik, maka "sejumlah senyawa sintetik" yang ada pada daftar tertentu dapat diiznkan untuk digunakan.[16] Beberapa kelompok telah mengadvokasikan pelarangan penggunaan teknologi nano berdasarkan prinsip pencegahan[17] karena belum diketahui dampaknya.[18]:5–6 Penggunaan produk berbasis teknologi nano dilarang oleh beberapa negara (Kanada, Inggris, and Australia) dan tidak diatur di negara lainnya.[19][20]:2, section 1.4.1(l)
Untuk bisa disebut sebagai bahan pangan organik, sebuah produk harus ditanam dan diproses dengan cara yang sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh badan atau lembaga suatu negara:
USDA melakukan inspeksi rutin di lahan usaha tani yang memproduksi di bawah label bahan pangan organik USDA[30] hingga pengujian di tempat,[31]

Perbedaan komposisi kimiawi antara bahan pangan organik dan bahan pangan konvensional

Berdasarkan perbedaan kimiawi, berbagai studi telah melakukan penelitian terkait nutrisi, antinutrisi, dan residu pestisida yang ada pada keduanya. Studi tersebut secara umum mendapatkan hasil yang bervariasi sehingga tidak ditemukan kesimpulan yang sama. Perbedaan tersebut juga diakibatkan oleh perbedaan lingkungan pengujian, metode, dan persepsi. Perbedaan juga terdapat pada musim dan lokasi penanaman, perlakuan terhadap tanaman, komposisi tanah, kultivar yang digunakan, dan sebagainya, termasuk pada produk daging dan susu.[6] Perlakuan pada bahan pangan setelah pengumpulan dari ladang atau kandang, jarak waktu antara panen dan analisis, serta kondisi transportasi dan pemindahan juga berefek pada perbedaan komposisi kimia pada bahan pangan yang diuji.[6] Juga terdapat bukti bahwa bahan pangan organik umumnya lebih kering dibandingkan bahan pangan yang diproses secara konvensional, sehingga senyawa kimia penting yang ada pada bahan pangan organik secara persentase dapat lebih tinggi, tapi tidak lebih tinggi secara kadar mutlak.[3]
Penerapan nutrisi organik pada hewan ternak, termasuk suplemen, juga berpengaruh terhadap tingkat kecernaan pakan yang diterima oleh hewan ternak. Sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan pada tahun 2006 menunjukan bahwa pakan yang difermentasikan dan dicampur suplemen krom organik meningkatkan kecernaan bahan kering (dry matter digestibility) dan bahan organik (organic matter digestibility), dan kadar asam lemak volatil lebih tinggi dibandingkan dengan jika dicampur dengan suplemen krom anorganik.[32] Hal ini membuka kemungkinan lebih tinggi untuk menghasilkan produk peternakan secara lebih organik.

Nutrisi

Sebuah survei pada tahun 2012 tidak menemukan bukti ilmiah yang menyebutkan perbedaan signifikan terkait kadar vitamin dari produk pangan organik dan produk pangan konvensional, dan hasilnya bervariasi antara satu studi dengan studi lainnya.[6] Studi dilakukan terhadap berbagai hasil tanaman pertanian dan produk peternakan yang menganalisis asam askorbat (vitamin C), beta-karoten (pembentuk vitamin A), retinol (pembentuk vitamin A), dan alfa-tokoferol (vitamin E).
Daging ayam organik diketahui mengandung asam lemak omega-3 lebih banyak dibandingkan daging ayam konvensional, dengan perbedaan rata-rata 1.99 gram per 100 gram. Tidak ditemukan perbedaan signifikan antara kadar lemak dan protein, dan hanya terdapat perbedaan sedikit pada kadar asam askorbat dan nutrisi mikro lainnya.[33][34]
Studi pada tahun 2003 ditemukan bahwa kadar senyawa fenolik lebih tinggi pada buah marrionberry, strawberry, dan jagung yang ditumbuhkan secara organik jika dibandingkan dengan buah yang ditumbuhkan secara konvensional.[35]

Anti-nutrisi

Kadar nitrogen pada beberapa jenis sayuran, terutama sayuran hijau dan umbi-umbian ditemukan lebih rendah dibandingkan yang ditumbuhkan secara konvensional.[4] Toksin lingkungan seperti logam berat, USDA menyatakan bahwa daging ayam yang dipelihara secara organik mengandung kadar arsenik yang lebih rendah,[36]. namun studi lain menunjukan bahwa kadar arsenik, juga kadmium dan logam berat lainnya tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan.[3][4]

Residu pestisida

Sebuah analisis pada tahun 2012 menunjukan residu pestisida terdeteksi pada 7% bahan pangan yang ditumbuhkan scara organik, dan pada 38% bahan pangan yang ditumbuhkan secara konvensional. Bahan pangan organik memiliki 30% risiko lebih rendah terhadap kontaminasi residu pestisida. Hal ini secara statistik cukup beragam, yang kemungkinan dikarenakan tingkat deteksi yang beragam di antara pelaku peneliti. Hanya tiga studi yang dilaporkan mengandung kontaminasi melebihi batas, dan semuanya ditemukan di Uni Eropa.[6] American Cancer Society menyatakan bahwa tidak ada bukti yang menunjukan bahwa residu pestisida mengakibatkan kanker.[37]

Kontaminasi bakteri


Studi perbandingan kontaminasi bakteri E. coli pada bahan pangan organik dan bahan pangan konvensional tidak ditemukan perbedaan yang signifikan. Empat dari lima studi menemukan risiko kontaminasi yang lebih tinggi pada selada yang ditanam secara organik, selebihnya tidak signifikan.[6] Kontaminasi bakteri pada bahan pangan organik sangat mungkin terjadi karena penggunaan kotoran hewan sebagai pupuk, namun kasus wabah penyakit yang disebabkan oleh bakteri akibat pertanian organik jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan banyaknya pengaplikasian kotoran ternak di seluruh dunia.[3][4][5] Kasus terbaru adalah wabah E. coli di Jerman pada budi daya kecambah organik.[38][39]

Kesehatan dan keselamatan

Efek diet bahan pangan organik bagi kesehatan

Tidak ada bukti ilmiah mengenai manfaat atau kerugian bagi kesehatan manusia dengan rutin mengkonsumsi bahan pangan organik. Pelaksanaan eksperimen dan penelitian terbilang cukup sulit, dikarenakan sulitnya mencari populasi yang mengkonsumsi bahan pangan organik sepanjang hidupnya. Penelitian tersebut akan cukup mahal untuk dilakukan.[6] Kebanyakan artikel yang terkait tidak mempelajari efek langsung terhadap kesehatan manusia. Hanya sebagian kecil yang menyertakan hal demikian, di antaranya perubahan aktivitas antioksidan. Status dan aktivitas antioksidan dapat menjadi biomarker namun tidak sama secara langsung terhadap efeknya bagi kesehatan. Publikasi lainnya meneliti komposisi asam lemak pada air susu ibu dan kemungkinan dampaknya bagi bayi.[7] Sebagai tambahan, sulitnya mengukur perbedaan kimiawi secara akurat dan bermakna antara bahan pangan organik dan bahan pangan kimiawi menjadikannya sulit untuk mengekstrapolasikan rekomendasi kesehatan berdasarkan pada analisis kimiawi.
Hingga tahun 2012, konsensus ilmiah yang ada adalah bahwa "konsumen memilih membeli buah, sayuran, dan daging organik karena mereka percaya bahwa bahan pangan organk lebih bernutrisi dibandingkan bahan pangan lain. Kompilasi dari berbagai bukti ilmiah tidak mendukung pandangan ini."[40] Sebuah ulasan sistematik tahunan yang dikeluarkan oleh FSA pada tahun 2009 dan dilakukan oleh London School of Hygiene & Tropical Medicine berdasarkan bukti yang dikumpulkan selama 50 tahun menyimpulkan bahwa "tidak ada bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa bahan pangan organik bermanfaat bagi kesehatan terkait kandungan nutrisinya."[41] Dan tidak ada dukungan dalam publikasi ilmiah manapun yang menyebutkan bahwa kandungan nitrogen yang lebih rendah pada sayuran organik baik bagi kesehatan.[4]

Keselamatan konsumen

Klaim yang menyebutkan bahwa bahan pangan organik lebih tidak membahayakan konsumen fokus kepada residu pestisida.[4] Hal ini terkait dengan fakta bahwa:[4]
  • paparan berlebihan pada pestisida mampu menyebabkan gangguan kesehatan
  • produk pangan dapat terkontaminasi oleh pestisida, yang mampu menyebabkan keracunan
  • sebagian besar bahan pangan yang dijual secara komersial mengandung sedikit kandungan residu pestisida
Namun disebutkan bahwa dampak kesehatan akibat paparan residu pestisida dalam jumlah sedikit yang terdapat pada bahan pangan sulit untuk diteliti secara kuantitatif. Penelitian mengenai tingkat keselamatan bahan pangan organik dihambat oleh sulitnya menemukan desain studi yang layak untuk dilakukan dan hanya ada sejumlah kecil penelitian yang membandingkan antara residu pestisida pada bahan pangan organik dan bahan pangan konvensional.[3][4][5][42][43]
Carcinogenic Potency Project[44][45] telah secara sistemis menguji kemampuan karsinogenik suatu bahan kimia, alami maupun sintetis, dan membangun basis data hasil penelitian selama 30 tahun yang tersedia bagi masyarakat.[46] Hasil penelitian mereka dalam kemampuan karsinogenik suatu bahan kimia adalah sebagai berikut:[47]
  1. Sejumlah besar bahan kimia yang terpapar ke manusia merupakan bahan kimia alami. Paparan harian rata-rata penduduk Amerika Serikat terhadap bahan yang terbakar di dalam makanan mereka adalah 2000 mg dan paparan bahan pestisida alami adalah 1500 mg. Pestisida alami adalah bahan kimia yang dihasilkan oleh tanaman untuk melindungi dirinya sendiri. Sebagai perbandingakn, total paparan harian residu pestisida sintetik adalah 0.09 mg. Sehingga 99.99% pestisida yang ditelah oleh manusia adalah alami. Meski perbedaannya begitu jauh, namun 79% bahan kimia yang diuji kemampuan karsinogeniknya di tikus laboratorium adalah sintetik.
  2. Seringkali diasumsikan salah bahwa sistem pertahanan manusia (sistem imunitas, dan sebagainya) berevolusi melawan bahan kimia alami di dalam makanan namun tidak berevolusi melawan bahan kimia sintetik. Secara umum, sistem pertahanan pada hewan berkembang pada arah yang sama dan tidak terlalu spesifik pada bahan kimia tertentu. Dan sistem pertahanan umumnya melindungi hewan pada bahan kimia, sintetik maupun alami, pada dosis yang rendah.
  3. Sulitnya mencari toksisitas pada rodentisida (pestisida untuk rodentia) karena yang diuji di laboratorium adalah paparan pada tikus lab. Rodentisida memang dirancang untuk membunuh tikus.
  4. Pada tikus lab, telah diuji juga pestisida alami yang terdapat pada tumbuhan sebagai mekanisme pertanaian mereka. Penelitian menunjukkan bahwa setengah dari pestisida alami yang diuji pada tikus lab menyebabkan kanker pada tikus. Semua pestisida alami tersebut merupakan yang paling umum terdapat pada makanan manusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hampir semua sayuran dan buah-buahan yang dijual di pasar mengandung pestisida alami yang mampu menyebabkan kanker pada tikus.
Sebuah studi kimia analisis menunjukan bahwa buah dan sayuran yang ditanam secara organik mengandung kadar residu pestisida yang lebih rendah, namun risiko kesehatan akibat residu pestisida kimia dalam jumlah kecil tersebut masih diperdebatkan karena bahan pangan organik dan bahan pangan konvensional keduanya memiliki residu pestisida yang jauh di bawah batas keamanan yang ditetapkan pemerintah.[3][4][6] Pandangan ini juga telah diucapkan oleh USDA[36] dan Food Standards Agency (FSA) Inggris.[8]
Sebuah studi yang dipublikasikan oleh Konsul Penelitian Nasional Amerika Serikat pada tahun 1993 menunjukkan bahwa pada bayi dan anak-anak, paparan utama pestisida mereka ada pada makanan.[48] Studi lainnya yang dipublikasikan pada tahun 2006 mengukur kadar paparan pestisida organofosfor pada 23 anak sekolah sebelum dan setelah digantikan dengan bahan pangan organik. Tingkat paparan organofosfor ditemukan turun dari kadar yang sangat kecil ke kadar yang tidak bisa dideteksi.[49]
Klaim terkait residu pestisida akan meningkatkan risiko infertilitas atau mengurangi total jumlah sperma tidak didukung oleh bukti ilmiah di dalam jurnal kedokteran[4] dan American Cancer Society.[50] Sebuah kajian menyebutkan bahwa risiko kesehatan akibat keberadaan mikroba dan toksin alami mungkin lebih signifikan dibandingkan risiko dari residu pestisida.[3][4]

Persepsi masyarakat

Terdapat kepercayaan publik yang dipromsikan oleh industri bahan pangan organik, bahwa bahan pangan organik lebih aman, lebih bernutrisi, dan memiliki rasa yang lebih baik dibandingkan bahan pangan konvensional. Kepercayaan ini telah memicu peningkatan permintaan terhadap bahan pangan organik meski memiliki harga yan lebih mahal dan kurangnya bukti ilmiah.[4][6][7][42]
Efek psikologis terkait dengan pilihan dan konsumsi bahan pangan organik, dan mungkin menjadi seperti sebuah pengalaman religius bagi beberapa orang, juga merupakan faktor yang memotivasi untuk membeli bahan pangan organik.[3] Sebuah contoh dari efek psikologis halo pada bahan pangan organik didemonstrasikan oleh sebuah studi yang dipublikasikan pada tahun 2010.[51] Hasil dari studi tersebut menunjukan bahwa mahasiswa suatu universitas percaya kue organik memiliki kalori yang lebih rendah dibandingkan kue konvensional. Efek ini diamati meski label nutrisi diberikan dan menunjukan kandungan kalori yang identik sama. Efek ini lebih terlihat pada partisipan yang mengukung bahan pangan organik secara kuat dan memiliki kepedulian tinggi terhadap masalah lingkungan. Persepsi bahwa bahan pangan organik merupakan bahan pangan berkalori lebih rendah atau lebih sehat terlihat umum di masyarakat.[3][51]
Di China, peningkatan permintaan terhadap bahan pangan organik meningkat, terutama pada susu dan produk susu untuk bayi yang dipicu oleh skandal susu Tiongkok 2008. Hal ini menjadikan China pasar susu organik terbesar di dunia pada tahun 2014.[52][53][54] Pew Research Centre mensurvey pada tahun 2012 bahwa 41 persen konsumen di China menganggap bahwa keamanan pangan merupakan masalah yang penting, meningkat lebih tiga kali lipat dibandingkan survey tahun 2008 yang hanya 12 persen.[55]

Rasa

Sebuah kajian pada tahun 2002 persepsi rasa buah dan sayuran organik jika dibandingkan dengan bahan pangan konvensional dapat bervariasi bergantung pada kualitas alat perasa, dan hasilnya tidak konsisten.[5] Terdapat bukti bahwa bahan pangan organik lebih kering dibandingkan bahan pangan konvensional sehingga memiiki rasa yang lebih intens karena konsentrasi senyawa pemberi rasa yang lebih tinggi.[3]
Beberapa bahan pangan seperti pisang, dipetik ketika masih mentah. Lalu pada umumnya secara kimiawi dipercepat kematangannya menggunakan propilena dan etilena selama penyimpanan, sehingga menghasilkan rasa yang berbeda.[56] Masalah penggunaan etilen dalam bahan pangan organik banyak ditentang. Penentang penggunaan etilen menyatakan bahwa hal ini hanya akan menguntungkan perusahaan besar dan membuka pintu lebar bagi standar organik yang lebih lemah di seluruh dunia.[57]

Keekonomian

Permintaan terhadap bahan pangan organik terutama didorong oleh kekhawatiran mengenai kesehatan pribadi dan kelestarian lingkungan.[58] Penjualan bahan pangan organik secara global meningkat lebih dari 170 persen sejak 2002, mencapai US$ 63 miliar pada tahun 2011[59] meski jumlah lahan usaha tani yang menerapkan organik tersertifikasi masih sangat kecil (kurang dari 2 persen) total lahan usaha tani, terbanyak dimiliki negara anggota OECD dan Uni Eropa.[60] Produk organik umumnya memiliki harga 10 hingga 40% lebih mahal dibandingkan bahan pangan konvensional.[61]
Meski bahan pangan organik hanya 1-2% dari total produksi pangan dunia, penjualan bahan pangan organik terus meningkat. Pangsa pasar bahan pangan organik di Amerika Serikat sudah mencapai angka antara 5 hingga 10% berdasarkan Organic Trade Association,[62] secara signifikan mengalahkan pertumbuhan nilai volume penjualan dalam US$ dibandingkan bahan pangan konvensional.
Di beberapa negara, peningkatan penjualan bahan pangan organik terjadi karena pemberlakuan peraturan dan undang-undang setempat. Sejak tahun 2000, penggunaan bahan pangan organik adalah sebuah keharusan di sekolah dan rumah sakit di Italia. Sebuah hukum di Emilia Romagna yang dikeluarkan pada tahun 2002 dan diterapkan pada tahun 2005 secara eksplisit memerintahkan penyediaan makanan di TK dan SD harus 100% organik, dan penyediaan makanan di sekolah, universitas, dan rumah sakit harus setidaknya 35% organik.[63]
Kuba menjadi negara yang menjadikan pertanian organik sebagai "jalan terakhir" bagi penyediaan bahan pangan sejak runtuhnya Uni Soviet dan dimulainya embargo yang mempersulit suplai input pertanian di negara tersebut.[64] Pestisida, benih, dan pupuk anorganik menjadi sulit didapatkan, sehingga petani harus menyediakan benih sendiri dan mengembalikan kesuburan tanah menggunakan pupuk kandang dan humus. Hingga kini, pertanian organik masih menjadi cara utama dalam menghasilkan bahan pangan, di mana sejumlah negara masih menjadikan pertanian organik sebagai cara alternatif penyediaan bahan pangan. Meski standar organik yang diterapkan tidak sama dengan standar negara lain (misal penggunaan GMO diizinkan[65][66]) namun ekspor jeruk dan jus jeruk Kuba ke Uni Eropa memenuhi standar organik Uni Eropa. Kuba akan tetap mempertahankan pertanian organiknya dan menjadi penyuplai utama bahan pangan organik di dunia.[67]
Sebuah studi yang dilakukan di Kabupaten Bogor terhadap petani yang menanam padi organik ditemukan bahwa petani organik cenderung lebih sejahtera.[68]
https://id.wikipedia.org/wiki/Bahan_pangan_organik

Pupuk organik

Pupuk organik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup, seperti pelapukan sisa -sisa tanaman, hewan, dan manusia.[1] Pupuk organik dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.[2] Pupuk organik mengandung banyak bahan organik daripada kadar haranya.[2] Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota (sampah).[2]

Daftar isi

Sejarah

Sejarah penggunaan pupuk pada dasarnya merupakan bagian daripada sejarah pertanian.[3] Penggunaan pupuk diperkirakan sudah dimulai sejak permulaan manusia mengenal bercocok tanam, yaitu sekitar 5.000 tahun yang lalu.[3] Bentuk primitif dari penggunaan pupuk dalam memperbaiki kesuburan tanah dimulai dari kebudayaan tua manusia di daerah aliran sungai-sungai Nil, Efrat, Indus, Cina, dan Amerika Latin.[3] Lahan-lahan pertanian yang terletak di sekitar aliran-aliran sungai tersebut sangat subur karena menerima endapan lumpur yang kaya hara melalui banjir yang terjadi setiap tahun.[3] Di Indonesia, pupuk organik sudah lama dikenal para petani.[3] Penduduk Indonesia sudah mengenal pupuk organik sebelum diterapkannya revolusi hijau di Indonesia.[3] Setelah revolusi hijau, kebanyakan petani lebih suka menggunakan pupuk buatan karena praktis menggunakannya, jumlahnya jauh lebih sedikit dari pupuk organik, harganya pun relatif murah dan mudah diperoleh.[3] Kebanyakan petani sudah sangat tergantung pada pupuk buatan, sehingga dapat berdampak negatif terhadap perkembangan produksi pertanian.[3] Tumbuhnya kesadaran para petani akan dampak negatif penggunaan pupuk buatan dan sarana pertanian modern lainnya terhadap lingkungan telah membuat mereka beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik.[3]

Jenis

Pupuk kandang


Pupuk kandang
Pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan. Hewan yang kotorannya sering digunakan untuk pupuk kandang adalah hewan yang bisa dipelihara oleh masyarakat, seperti kotoran kambing, sapi, domba, dan ayam.[4]. Selain berbentuk padat, pupuk kandang juga bisa berupa cair yang berasal dari air kencing (urin) hewan.[4] Pupuk kandang mengandung unsur hara makro dan mikro.[4] Pupuk kandang padat banyak mengandung unsur hara makro, seperti fosfor, nitrogen, dan kalium.[4] Unsur hara mikro yang terkandung dalam pupuk kandang di antaranya kalsium, magnesium, belerang, natrium, besi, tembaga, dan molibdenum.[4] Kandungan nitrogen dalam urin hewan ternak tiga kali lebih besar dibandingkan dengan kandungan nitrogen dalam kotoran padat.[4]
Pupuk kandang terdiri dari dua bagian, yaitu:[4]
  1. Pupuk dingin adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan yang diuraikan secara perlahan oleh mikroorganisme sehingga tidak menimbulkan panas, contohnya pupuk yang berasal dari kotoran sapi, kerbau, dan babi.[4]
  2. Pupuk panas adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan yang diuraikan mikroorganisme secara cepat sehingga menimbulkan panas, contohnya pupuk yang berasal dari kotoran kambing, kuda, dan ayam.[4]
Pupuk kandang bermanfaat untuk menyediakan unsur hara makro dan mikro dan mempunyai daya ikat ion yang tinggi sehingga akan mengefektifkan bahan - bahan anorganik di dalam tanah, termasuk pupuk anorganik.[4] Selain itu, pupuk kandang bisa memperbaiki struktur tanah, sehingga pertumbuhan tanaman bisa optimal.[4] Pupuk kandang yang telah siap diaplikasikan memiliki ciri bersuhu dingin, remah, wujud aslinya tidak tampak, dan baunya telah berkurang.[4] Jika belum memiliki ciri-ciri tersebut, pupuk kandang belum siap digunakan.[4] Penggunaan pupuk yang belum matang akan menghambat pertumbuhan tanaman, bahkan bisa mematikan tanaman.[4] Penggunaan pupuk kandang yang baik adalah dengan cara dibenamkan, sehingga penguapan unsur hara dapat berkurang. Penggunaan pupuk kandang yang berbentuk cair paling baik dilakukan setelah tanaman tumbuh, sehingga unsur hara yang terdapat dalam pupuk kandang cair ini akan cepat diserap oleh tanaman.[4]

Pupuk hijau

Pupuk hijau adalah pupuk organik yang berasal dari tanaman atau berupa sisa panen. Bahan tanaman ini dapat dibenamkan pada waktu masih hijau atau setelah dikomposkan.[4] Sumber pupuk hijau dapat berupa sisa-sisa tanaman (sisa panen) atau tanaman yang ditanam secara khusus sebagai penghasil pupuk hijau, seperti kacang-kacangan dan tanaman paku air (Azolla).[4] Jenis tanaman yang dijadikan sumber pupuk hijau diutamakan dari jenis legume, karena tanaman ini mengandung hara yang relatif tinggi, terutama nitrogen dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya.[4] Tanaman legume juga relatif mudah terdekomposisi sehingga penyediaan haranya menjadi lebih cepat.[4] Pupuk hijau bermanfaat untuk meningkatkan kandungan bahan organik dan unsur hara di dalam tanah, sehingga terjadi perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah, yang selanjutnya berdampak pada peningkatan produktivitas tanah dan ketahanan tanah terhadap erosi.[4]
Pupuk hijau digunakan dalam:[4]
  1. Penggunaan tanaman pagar, yaitu dengan mengembangkan sistem pertanaman lorong, di mana tanaman pupuk hijau ditanam sebagai tanaman pagar berseling dengan tanaman utama.[4]
  2. Penggunaan tanaman penutup tanah, yaitu dengan mengembangkan tanaman yang ditanam sendiri, pada saat tanah tidak ditanami tanaman utama atau tanaman yang ditanam bersamaan dengan tanaman pokok bila tanaman pokok berupa tanaman tahunan.[4]

Kompos


Kompos
Kompos merupakan sisa bahan organik yang berasal dari tanaman, hewan, dan limbah organik yang telah mengalami proses dekomposisi atau fermentasi.[5] Jenis tanaman yang sering digunakan untuk kompos di antaranya jerami, sekam padi, tanaman pisang, gulma, sayuran yang busuk, sisa tanaman jagung, dan sabut kelapa.[5] Bahan dari ternak yang sering digunakan untuk kompos di antaranya kotoran ternak, urine, pakan ternak yang terbuang, dan cairan biogas.[5] Tanaman air yang sering digunakan untuk kompos di antaranya ganggang biru, gulma air, eceng gondok, dan Azolla.[5]
Beberapa kegunaan kompos adalah:[5]
  1. Memperbaiki struktur tanah.[5]
  2. Memperkuat daya ikat agregat (zat hara) tanah berpasir.[5]
  3. Meningkatkan daya tahan dan daya serap air.[5]
  4. Memperbaiki drainase dan pori - pori dalam tanah.[5]
  5. Menambah dan mengaktifkan unsur hara.[5]
Kompos digunakan dengan cara menyebarkannya di sekeliling tanaman.[5] Kompos yang layak digunakan adalah yang sudah matang, ditandai dengan menurunnya temperatur kompos (di bawah 400 c).[5]

Humus


Humus
Humus adalah material organik yang berasal dari degradasi ataupun pelapukan daun-daunan dan ranting-ranting tanaman yang membusuk (mengalami dekomposisi) yang akhirnya mengubah humus menjadi (bunga tanah), dan kemudian menjadi tanah.[6] Bahan baku untuk humus adalah dari daun ataupun ranting pohon yang berjatuhan, limbah pertanian dan peternakan, industri makanan, agroindustri, kulit kayu, serbuk gergaji (abu kayu), kepingan kayu, endapan kotoran, sampah rumah tangga, dan limbah-limbah padat perkotaan.[6] Humus merupakan sumber makanan bagi tanaman, serta berperan baik bagi pembentukan dan menjaga struktur tanah.[6] Senyawa humus juga berperan dalam pengikatan bahan kimia toksik dalam tanah dan air.[6] Selain itu, humus dapat meningkatkan kapasitas kandungan air tanah, membantu dalam menahan pupuk anorganik larut-air, mencegah penggerusan tanah, menaikkan aerasi tanah, dan menaikkan fotokimia dekomposisi pestisida atau senyawa-senyawa organik toksik.[6] Kandungan utama dari kompos adalah humus.[6] Humus merupakan penentu akhir dari kualitas kesuburan tanah, jadi penggunaan humus sama halnya dengan penggunaan kompos.[6]

Pupuk organik buatan

Pupuk organik buatan adalah pupuk organik yang diproduksi di pabrik dengan menggunakan peralatan yang modern.[7] Beberapa manfaat pupuk organik buatan, yaitu:[7]
  1. Meningkatkan kandungan unsur hara yang dibutuhkan tanaman.[7]
  2. Meningkatkan produktivitas tanaman.[7]
  3. Merangsang pertumbuhan akar, batang, dan daun.[7]
  4. Menggemburkan dan menyuburkan tanah.[7]
Pada umumnya, pupuk organik buatan digunakan dengan cara menyebarkannya di sekeliling tanaman, sehingga terjadi peningkatan kandungan unsur hara secara efektif dan efisien bagi tanaman yang diberi pupuk organik tersebut.[7]

Manfaat

Berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan karbon organik dalam tanah, yaitu 2%.[8] Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan karbon organik sekitar 2,5%.[8] Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan.[8] Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan.[8] Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beranekaragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi.[8] Selain itu, peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia biologi tanah serta lingkungan.[8] Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus.[8] Bahan organik juga berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman.[8]
Penambahan bahan organik di samping sebagai sumber hara bagi tanaman, juga sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba.[8] Bahan dasar pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman sedikit mengandung bahan berbahaya.[8] Penggunaan pupuk kandang, limbah industri dan limbah kota sebagai bahan dasar kompos berbahaya karena banyak mengandung logam berat dan asam-asam organik yang dapat mencemari lingkungan.[8] Selama proses pengomposan, beberapa bahan berbahaya ini akan terkonsentrasi dalam produk akhir pupuk.[8] Untuk itu diperlukan seleksi bahan dasar kompos yang mengandung bahan-bahan berbahaya dan beracun (B3).[8] Pupuk organik dapat berperan sebagai pengikat butiran primer menjadi butir sekunder tanah dalam pembentukan pupuk.[8] Keadaan ini memengaruhi penyimpanan, penyediaan air, aerasi tanah, dan suhu tanah.[8] Bahan organik dengan karbon dan nitrogen yang banyak, seperti jerami atau sekam lebih besar pengaruhnya pada perbaikan sifat-sifat fisik tanah dibanding dengan bahan organik yang terdekomposisi seperti kompos.[8]
Pupuk organik memiliki fungsi kimia yang penting seperti penyediaan hara makro (nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan sulfur) dan mikro seperti zink, tembaga, kobalt, barium, mangan, dan besi, meskipun jumlahnya relatif sedikit.[8] Unsur hara makro dan mikro tersebut sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, terutama bagi pencinta tanaman hias. Banyak para pelaku hobi dan pencinta tanaman hias bertanya tentang komposisi kandungan pupuk dan prosentase kandungan nitrogen, fosfor dan kalium yang tepat untuk tanaman yang bibit, remaja, atau dewasa/indukan.
Fungsi unsur-unsur hara makro :
Nitrogen (N):
  • Merangsang pertumbuhan tanaman secara keseluruhan
  • Merupakan bagian dari sel (organ) tanaman itu sendiri
  • Berfungsi untuk sintesis asam amino dan protein dalam tanaman
  • Merangsang pertumbuhan vegetatif (warna hijau daun, panjang daun, lebar daun) dan pertumbuhan vegetatif batang (tinggi dan ukuran batang).
  • Tanaman yang kekurangan unsur nitrogen gejalanya: pertumbuhan lambat/kerdil, daun hijau kekuningan, daun sempit, pendek dan tegak, daun-daun tua cepat menguning dan mati.
Fosfor (P):
  • Berfungsi untuk pengangkutan energi hasil metabolisme dalam tanaman
  • Merangsang pembungaan dan pembuahan
  • Merangsang pertumbuhan akar
  • Merangsang pembentukan biji
  • Merangsang pembelahan sel tanaman dan memperbesar jaringan sel
  • Tanaman yang kekurangan unsur fosfor gejalanya: pembentukan buah/dan biji berkurang, kerdil, daun berwarna keunguan atau kemerahan
Kalium (K):
  • Berfungsi dalam proses fotosintesis, pengangkutan hasil asimilasi, enzim, dan mineral termasuk air.
  • Meningkatkan daya tahan/kekebalan tanaman terhadap penyakit
  • Tanaman yang kekurangan unsur kalium gejalanya: batang dan daun menjadi lemas/rebah, daun berwarna hijau gelap kebiruan tidak hijau segar dan sehat, ujung daun menguning dan kering, timbul bercak coklat pada pucuk daun.
Pupuk organik juga berfungsi meningkatkan kapasitas tukar kation tanah dan membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti aluminium, besi, dan mangan.[8]

Pelestarian lingkungan


Tanaman penutup tanah (cover crop) dapat digunakan sebagai pupuk organik.
Penggunaan pupuk organik saja, tidak dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan ketahanan pangan.[9] Oleh karena itu sistem pengelolaan hara terpadu yang memadukan pemberian pupuk organik dan pupuk anorganik perlu digalakkan.[9] Sistem pertanian yang disebut sebagai LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture) menggunakan kombinasi pupuk organik dan anorganik yang berlandaskan konsep good agricultural practices perlu dilakukan agar degradasi lahan dapat dikurangi dalam rangka memelihara kelestarian lingkungan.[9] Pemanfaatan pupuk organik dan pupuk anorganik untuk meningkatkan produktivitas lahan dan produksi pertanian perlu dipromosikan dan digalakkan.[9] Program-program pengembangan pertanian yang mengintegrasikan ternak dan tanaman (crop-livestock) serta penggunaan tanaman legum baik berupa tanaman lorong (alley cropping) maupun tanaman penutup tanah (cover crop) sebagai pupuk hijau maupun kompos perlu diintensifkan.[9]
https://id.wikipedia.org/wiki/Pupuk_organik

Bahan pangan organik

Bahan pangan organik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Anggota sebuah koperasi di Toronto yang saling berbagi bahan pangan organik dalam suasana kekeluargaan. Bahan pangan organik dapat ditanam sendiri di perkotaan. Lihat pertanian urban
Area yang khusus menjajakan bahan pangan organik, dalam Taipei Food Fair 2008
Bahan pangan organik adalah bahan pangan yang diproduksi dengan menggunakan metode pertanian organik, yang membatasi input sintetik modern seperti pestisida sintetik dan pupuk kimia. Penggunaan pestisida organik seperti toksin Bacillus thuringiensis masih digunakan. Bahan pangan organik juga tidak diproses menggunakan iradiasi, pelarut industri, atau bahan tambahan makanan kimiawi.[1] Gerakan pertanian organik muncul pada tahun 1940an menanggapi industrialisasi pertanian yang kini disebut dengan Revolusi Hijau.[2] Kini berbagai negara di dunia menerapkan kebijakan pangan seperti pelabelan sertifikasi organik agar suatu bahan pangan dapat dijual ke konsumen sebagai "bahan pangan organik". Dengan regulasi ini, bahan pangan organik harus diproduksi dengan cara yang sesuai dengan standar organik yang diterapkan oleh pemerintah suatu negara dan organisasi internasional.
Berbagai bukti memberikan hasil yang beragam mengenai pembuktian apakah bahan pangan organik lebih aman dibandingkan bahan pangan konvensional[3][4][5][6][7][8][9] maupun lebih baik dari segi rasa.[3][5]

Daftar isi

Makna dan asal kata

Pada awalnya, pertanian adalah berbasis organik. Bahan kimia yang digunakan pada rantai produksi pangan mulai diperkenalkan pada awal abad ke-20.[10] Gerakan pertanian organik muncul pada tahun 1940an menanggapi industrialisasi pertanian.
Walter James, Baron ke-4 Northbourne menggunakan istilah pertanian organik di dalam bukunya yang berjudul Look to the Land (1940), yang berasal dari konsep pertanian organik miliknya yang menjelaskan pendekatan holistik dan seimbang secara ekologis pada pertanian, kontras dengan istilah yang ia sebut sebagai pertanian kimiawi yang bergantung pada "kesuburan yang diimpor" dan tidak mampu berdiri sendiri.[11] Hal ini berbeda dengan penggunaan istilah "organik" di dalam sains yang mengacu pada sekumpulan molekul yang mengandung karbon. Molekul dari kelompok senyawa organik tersebut berada pada semua hal yang dapat dimakan, namun berbagai senyawa pestisida sintetik juga merupakan senyawa kimia organik.

Definisi legal

National Organic Program yang dijalankan oleh USDA bertanggung jawab terhadap definisi legal dari organik di Amerika Serikat dan melakukan sertifikasi organik
Bahan pangan organik adalah sebuah industri yang mengatur dirinya sendiri dengan pemerintah yang mengawasi di beberapa negara. Saat ini, beberapa negara mengharuskan produsen bahan pangan yang ingin menjual produknya dengan label "organik" harus mendapatkan sertifikasi khusus yang mengatur tata cara produksi mereka berdasarkan definisi standar pemerintah.
Di Amerika Serikat, produksi bahan pangan organik adalah sebuah sistem yang dikelola berdasarkan Akta Produksi Bahan Pangan Organik tahun 1990.[12] Jika hewan ternak dilibatkan, baik sebagai penghasil produk hewan maupun produk samping dan tenaganya, maka hewan ternak harus mendapatkan akses secara berkala ke lahan penggembalaan dan tidak menggunakan antibiotik dan hormon pertumbuhan.[13]
Makanan organik yang terproses umumnya hanya mengandung komposisi yang terdiri dari bahan pangan organik pula. Jika terdapat komposisi bahan pangan organik, maka harus dijelaskan berapa persen yang organik. USDA mengharuskan setidaknya 95% organik untuk dapat tetap disebut bahan pangan organik.[14] Bahan pangan organik juga harus bebas dari bahan tambahan makanan kimiawi, bebas dari senyawa kimia, iradiasi, dan bahan pangan termodifikasi secara genetik. Pestisida diizinkan selama bukan merupakan pestisida sintetik.[15] Namun, di bawah standar organik pemerintah Amerika Serikat, jika hama dan gulma tidak mampu dikendalikan melalui praktik pengelolaan ataupun melalui pestisida dan herbisida organik, maka "sejumlah senyawa sintetik" yang ada pada daftar tertentu dapat diiznkan untuk digunakan.[16] Beberapa kelompok telah mengadvokasikan pelarangan penggunaan teknologi nano berdasarkan prinsip pencegahan[17] karena belum diketahui dampaknya.[18]:5–6 Penggunaan produk berbasis teknologi nano dilarang oleh beberapa negara (Kanada, Inggris, and Australia) dan tidak diatur di negara lainnya.[19][20]:2, section 1.4.1(l)
Untuk bisa disebut sebagai bahan pangan organik, sebuah produk harus ditanam dan diproses dengan cara yang sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh badan atau lembaga suatu negara:
USDA melakukan inspeksi rutin di lahan usaha tani yang memproduksi di bawah label bahan pangan organik USDA[30] hingga pengujian di tempat,[31]

Perbedaan komposisi kimiawi antara bahan pangan organik dan bahan pangan konvensional

Berdasarkan perbedaan kimiawi, berbagai studi telah melakukan penelitian terkait nutrisi, antinutrisi, dan residu pestisida yang ada pada keduanya. Studi tersebut secara umum mendapatkan hasil yang bervariasi sehingga tidak ditemukan kesimpulan yang sama. Perbedaan tersebut juga diakibatkan oleh perbedaan lingkungan pengujian, metode, dan persepsi. Perbedaan juga terdapat pada musim dan lokasi penanaman, perlakuan terhadap tanaman, komposisi tanah, kultivar yang digunakan, dan sebagainya, termasuk pada produk daging dan susu.[6] Perlakuan pada bahan pangan setelah pengumpulan dari ladang atau kandang, jarak waktu antara panen dan analisis, serta kondisi transportasi dan pemindahan juga berefek pada perbedaan komposisi kimia pada bahan pangan yang diuji.[6] Juga terdapat bukti bahwa bahan pangan organik umumnya lebih kering dibandingkan bahan pangan yang diproses secara konvensional, sehingga senyawa kimia penting yang ada pada bahan pangan organik secara persentase dapat lebih tinggi, tapi tidak lebih tinggi secara kadar mutlak.[3]
Penerapan nutrisi organik pada hewan ternak, termasuk suplemen, juga berpengaruh terhadap tingkat kecernaan pakan yang diterima oleh hewan ternak. Sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan pada tahun 2006 menunjukan bahwa pakan yang difermentasikan dan dicampur suplemen krom organik meningkatkan kecernaan bahan kering (dry matter digestibility) dan bahan organik (organic matter digestibility), dan kadar asam lemak volatil lebih tinggi dibandingkan dengan jika dicampur dengan suplemen krom anorganik.[32] Hal ini membuka kemungkinan lebih tinggi untuk menghasilkan produk peternakan secara lebih organik.

Nutrisi

Sebuah survei pada tahun 2012 tidak menemukan bukti ilmiah yang menyebutkan perbedaan signifikan terkait kadar vitamin dari produk pangan organik dan produk pangan konvensional, dan hasilnya bervariasi antara satu studi dengan studi lainnya.[6] Studi dilakukan terhadap berbagai hasil tanaman pertanian dan produk peternakan yang menganalisis asam askorbat (vitamin C), beta-karoten (pembentuk vitamin A), retinol (pembentuk vitamin A), dan alfa-tokoferol (vitamin E).
Daging ayam organik diketahui mengandung asam lemak omega-3 lebih banyak dibandingkan daging ayam konvensional, dengan perbedaan rata-rata 1.99 gram per 100 gram. Tidak ditemukan perbedaan signifikan antara kadar lemak dan protein, dan hanya terdapat perbedaan sedikit pada kadar asam askorbat dan nutrisi mikro lainnya.[33][34]
Studi pada tahun 2003 ditemukan bahwa kadar senyawa fenolik lebih tinggi pada buah marrionberry, strawberry, dan jagung yang ditumbuhkan secara organik jika dibandingkan dengan buah yang ditumbuhkan secara konvensional.[35]

Anti-nutrisi

Kadar nitrogen pada beberapa jenis sayuran, terutama sayuran hijau dan umbi-umbian ditemukan lebih rendah dibandingkan yang ditumbuhkan secara konvensional.[4] Toksin lingkungan seperti logam berat, USDA menyatakan bahwa daging ayam yang dipelihara secara organik mengandung kadar arsenik yang lebih rendah,[36]. namun studi lain menunjukan bahwa kadar arsenik, juga kadmium dan logam berat lainnya tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan.[3][4]

Residu pestisida

Sebuah analisis pada tahun 2012 menunjukan residu pestisida terdeteksi pada 7% bahan pangan yang ditumbuhkan scara organik, dan pada 38% bahan pangan yang ditumbuhkan secara konvensional. Bahan pangan organik memiliki 30% risiko lebih rendah terhadap kontaminasi residu pestisida. Hal ini secara statistik cukup beragam, yang kemungkinan dikarenakan tingkat deteksi yang beragam di antara pelaku peneliti. Hanya tiga studi yang dilaporkan mengandung kontaminasi melebihi batas, dan semuanya ditemukan di Uni Eropa.[6] American Cancer Society menyatakan bahwa tidak ada bukti yang menunjukan bahwa residu pestisida mengakibatkan kanker.[37]

Kontaminasi bakteri

Studi perbandingan kontaminasi bakteri E. coli pada bahan pangan organik dan bahan pangan konvensional tidak ditemukan perbedaan yang signifikan. Empat dari lima studi menemukan risiko kontaminasi yang lebih tinggi pada selada yang ditanam secara organik, selebihnya tidak signifikan.[6] Kontaminasi bakteri pada bahan pangan organik sangat mungkin terjadi karena penggunaan kotoran hewan sebagai pupuk, namun kasus wabah penyakit yang disebabkan oleh bakteri akibat pertanian organik jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan banyaknya pengaplikasian kotoran ternak di seluruh dunia.[3][4][5] Kasus terbaru adalah wabah E. coli di Jerman pada budi daya kecambah organik.[38][39]

Kesehatan dan keselamatan

Efek diet bahan pangan organik bagi kesehatan

Tidak ada bukti ilmiah mengenai manfaat atau kerugian bagi kesehatan manusia dengan rutin mengkonsumsi bahan pangan organik. Pelaksanaan eksperimen dan penelitian terbilang cukup sulit, dikarenakan sulitnya mencari populasi yang mengkonsumsi bahan pangan organik sepanjang hidupnya. Penelitian tersebut akan cukup mahal untuk dilakukan.[6] Kebanyakan artikel yang terkait tidak mempelajari efek langsung terhadap kesehatan manusia. Hanya sebagian kecil yang menyertakan hal demikian, di antaranya perubahan aktivitas antioksidan. Status dan aktivitas antioksidan dapat menjadi biomarker namun tidak sama secara langsung terhadap efeknya bagi kesehatan. Publikasi lainnya meneliti komposisi asam lemak pada air susu ibu dan kemungkinan dampaknya bagi bayi.[7] Sebagai tambahan, sulitnya mengukur perbedaan kimiawi secara akurat dan bermakna antara bahan pangan organik dan bahan pangan kimiawi menjadikannya sulit untuk mengekstrapolasikan rekomendasi kesehatan berdasarkan pada analisis kimiawi.
Hingga tahun 2012, konsensus ilmiah yang ada adalah bahwa "konsumen memilih membeli buah, sayuran, dan daging organik karena mereka percaya bahwa bahan pangan organk lebih bernutrisi dibandingkan bahan pangan lain. Kompilasi dari berbagai bukti ilmiah tidak mendukung pandangan ini."[40] Sebuah ulasan sistematik tahunan yang dikeluarkan oleh FSA pada tahun 2009 dan dilakukan oleh London School of Hygiene & Tropical Medicine berdasarkan bukti yang dikumpulkan selama 50 tahun menyimpulkan bahwa "tidak ada bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa bahan pangan organik bermanfaat bagi kesehatan terkait kandungan nutrisinya."[41] Dan tidak ada dukungan dalam publikasi ilmiah manapun yang menyebutkan bahwa kandungan nitrogen yang lebih rendah pada sayuran organik baik bagi kesehatan.[4]

Keselamatan konsumen

Klaim yang menyebutkan bahwa bahan pangan organik lebih tidak membahayakan konsumen fokus kepada residu pestisida.[4] Hal ini terkait dengan fakta bahwa:[4]
  • paparan berlebihan pada pestisida mampu menyebabkan gangguan kesehatan
  • produk pangan dapat terkontaminasi oleh pestisida, yang mampu menyebabkan keracunan
  • sebagian besar bahan pangan yang dijual secara komersial mengandung sedikit kandungan residu pestisida
Namun disebutkan bahwa dampak kesehatan akibat paparan residu pestisida dalam jumlah sedikit yang terdapat pada bahan pangan sulit untuk diteliti secara kuantitatif. Penelitian mengenai tingkat keselamatan bahan pangan organik dihambat oleh sulitnya menemukan desain studi yang layak untuk dilakukan dan hanya ada sejumlah kecil penelitian yang membandingkan antara residu pestisida pada bahan pangan organik dan bahan pangan konvensional.[3][4][5][42][43]
Carcinogenic Potency Project[44][45] telah secara sistemis menguji kemampuan karsinogenik suatu bahan kimia, alami maupun sintetis, dan membangun basis data hasil penelitian selama 30 tahun yang tersedia bagi masyarakat.[46] Hasil penelitian mereka dalam kemampuan karsinogenik suatu bahan kimia adalah sebagai berikut:[47]
  1. Sejumlah besar bahan kimia yang terpapar ke manusia merupakan bahan kimia alami. Paparan harian rata-rata penduduk Amerika Serikat terhadap bahan yang terbakar di dalam makanan mereka adalah 2000 mg dan paparan bahan pestisida alami adalah 1500 mg. Pestisida alami adalah bahan kimia yang dihasilkan oleh tanaman untuk melindungi dirinya sendiri. Sebagai perbandingakn, total paparan harian residu pestisida sintetik adalah 0.09 mg. Sehingga 99.99% pestisida yang ditelah oleh manusia adalah alami. Meski perbedaannya begitu jauh, namun 79% bahan kimia yang diuji kemampuan karsinogeniknya di tikus laboratorium adalah sintetik.
  2. Seringkali diasumsikan salah bahwa sistem pertahanan manusia (sistem imunitas, dan sebagainya) berevolusi melawan bahan kimia alami di dalam makanan namun tidak berevolusi melawan bahan kimia sintetik. Secara umum, sistem pertahanan pada hewan berkembang pada arah yang sama dan tidak terlalu spesifik pada bahan kimia tertentu. Dan sistem pertahanan umumnya melindungi hewan pada bahan kimia, sintetik maupun alami, pada dosis yang rendah.
  3. Sulitnya mencari toksisitas pada rodentisida (pestisida untuk rodentia) karena yang diuji di laboratorium adalah paparan pada tikus lab. Rodentisida memang dirancang untuk membunuh tikus.
  4. Pada tikus lab, telah diuji juga pestisida alami yang terdapat pada tumbuhan sebagai mekanisme pertanaian mereka. Penelitian menunjukkan bahwa setengah dari pestisida alami yang diuji pada tikus lab menyebabkan kanker pada tikus. Semua pestisida alami tersebut merupakan yang paling umum terdapat pada makanan manusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hampir semua sayuran dan buah-buahan yang dijual di pasar mengandung pestisida alami yang mampu menyebabkan kanker pada tikus.
Sebuah studi kimia analisis menunjukan bahwa buah dan sayuran yang ditanam secara organik mengandung kadar residu pestisida yang lebih rendah, namun risiko kesehatan akibat residu pestisida kimia dalam jumlah kecil tersebut masih diperdebatkan karena bahan pangan organik dan bahan pangan konvensional keduanya memiliki residu pestisida yang jauh di bawah batas keamanan yang ditetapkan pemerintah.[3][4][6] Pandangan ini juga telah diucapkan oleh USDA[36] dan Food Standards Agency (FSA) Inggris.[8]
Sebuah studi yang dipublikasikan oleh Konsul Penelitian Nasional Amerika Serikat pada tahun 1993 menunjukkan bahwa pada bayi dan anak-anak, paparan utama pestisida mereka ada pada makanan.[48] Studi lainnya yang dipublikasikan pada tahun 2006 mengukur kadar paparan pestisida organofosfor pada 23 anak sekolah sebelum dan setelah digantikan dengan bahan pangan organik. Tingkat paparan organofosfor ditemukan turun dari kadar yang sangat kecil ke kadar yang tidak bisa dideteksi.[49]
Klaim terkait residu pestisida akan meningkatkan risiko infertilitas atau mengurangi total jumlah sperma tidak didukung oleh bukti ilmiah di dalam jurnal kedokteran[4] dan American Cancer Society.[50] Sebuah kajian menyebutkan bahwa risiko kesehatan akibat keberadaan mikroba dan toksin alami mungkin lebih signifikan dibandingkan risiko dari residu pestisida.[3][4]

Persepsi masyarakat

Terdapat kepercayaan publik yang dipromsikan oleh industri bahan pangan organik, bahwa bahan pangan organik lebih aman, lebih bernutrisi, dan memiliki rasa yang lebih baik dibandingkan bahan pangan konvensional. Kepercayaan ini telah memicu peningkatan permintaan terhadap bahan pangan organik meski memiliki harga yan lebih mahal dan kurangnya bukti ilmiah.[4][6][7][42]
Efek psikologis terkait dengan pilihan dan konsumsi bahan pangan organik, dan mungkin menjadi seperti sebuah pengalaman religius bagi beberapa orang, juga merupakan faktor yang memotivasi untuk membeli bahan pangan organik.[3] Sebuah contoh dari efek psikologis halo pada bahan pangan organik didemonstrasikan oleh sebuah studi yang dipublikasikan pada tahun 2010.[51] Hasil dari studi tersebut menunjukan bahwa mahasiswa suatu universitas percaya kue organik memiliki kalori yang lebih rendah dibandingkan kue konvensional. Efek ini diamati meski label nutrisi diberikan dan menunjukan kandungan kalori yang identik sama. Efek ini lebih terlihat pada partisipan yang mengukung bahan pangan organik secara kuat dan memiliki kepedulian tinggi terhadap masalah lingkungan. Persepsi bahwa bahan pangan organik merupakan bahan pangan berkalori lebih rendah atau lebih sehat terlihat umum di masyarakat.[3][51]
Di China, peningkatan permintaan terhadap bahan pangan organik meningkat, terutama pada susu dan produk susu untuk bayi yang dipicu oleh skandal susu Tiongkok 2008. Hal ini menjadikan China pasar susu organik terbesar di dunia pada tahun 2014.[52][53][54] Pew Research Centre mensurvey pada tahun 2012 bahwa 41 persen konsumen di China menganggap bahwa keamanan pangan merupakan masalah yang penting, meningkat lebih tiga kali lipat dibandingkan survey tahun 2008 yang hanya 12 persen.[55]

Rasa

Sebuah kajian pada tahun 2002 persepsi rasa buah dan sayuran organik jika dibandingkan dengan bahan pangan konvensional dapat bervariasi bergantung pada kualitas alat perasa, dan hasilnya tidak konsisten.[5] Terdapat bukti bahwa bahan pangan organik lebih kering dibandingkan bahan pangan konvensional sehingga memiiki rasa yang lebih intens karena konsentrasi senyawa pemberi rasa yang lebih tinggi.[3]
Beberapa bahan pangan seperti pisang, dipetik ketika masih mentah. Lalu pada umumnya secara kimiawi dipercepat kematangannya menggunakan propilena dan etilena selama penyimpanan, sehingga menghasilkan rasa yang berbeda.[56] Masalah penggunaan etilen dalam bahan pangan organik banyak ditentang. Penentang penggunaan etilen menyatakan bahwa hal ini hanya akan menguntungkan perusahaan besar dan membuka pintu lebar bagi standar organik yang lebih lemah di seluruh dunia.[57]

Keekonomian

Permintaan terhadap bahan pangan organik terutama didorong oleh kekhawatiran mengenai kesehatan pribadi dan kelestarian lingkungan.[58] Penjualan bahan pangan organik secara global meningkat lebih dari 170 persen sejak 2002, mencapai US$ 63 miliar pada tahun 2011[59] meski jumlah lahan usaha tani yang menerapkan organik tersertifikasi masih sangat kecil (kurang dari 2 persen) total lahan usaha tani, terbanyak dimiliki negara anggota OECD dan Uni Eropa.[60] Produk organik umumnya memiliki harga 10 hingga 40% lebih mahal dibandingkan bahan pangan konvensional.[61]
Meski bahan pangan organik hanya 1-2% dari total produksi pangan dunia, penjualan bahan pangan organik terus meningkat. Pangsa pasar bahan pangan organik di Amerika Serikat sudah mencapai angka antara 5 hingga 10% berdasarkan Organic Trade Association,[62] secara signifikan mengalahkan pertumbuhan nilai volume penjualan dalam US$ dibandingkan bahan pangan konvensional.
Di beberapa negara, peningkatan penjualan bahan pangan organik terjadi karena pemberlakuan peraturan dan undang-undang setempat. Sejak tahun 2000, penggunaan bahan pangan organik adalah sebuah keharusan di sekolah dan rumah sakit di Italia. Sebuah hukum di Emilia Romagna yang dikeluarkan pada tahun 2002 dan diterapkan pada tahun 2005 secara eksplisit memerintahkan penyediaan makanan di TK dan SD harus 100% organik, dan penyediaan makanan di sekolah, universitas, dan rumah sakit harus setidaknya 35% organik.[63]
Kuba menjadi negara yang menjadikan pertanian organik sebagai "jalan terakhir" bagi penyediaan bahan pangan sejak runtuhnya Uni Soviet dan dimulainya embargo yang mempersulit suplai input pertanian di negara tersebut.[64] Pestisida, benih, dan pupuk anorganik menjadi sulit didapatkan, sehingga petani harus menyediakan benih sendiri dan mengembalikan kesuburan tanah menggunakan pupuk kandang dan humus. Hingga kini, pertanian organik masih menjadi cara utama dalam menghasilkan bahan pangan, di mana sejumlah negara masih menjadikan pertanian organik sebagai cara alternatif penyediaan bahan pangan. Meski standar organik yang diterapkan tidak sama dengan standar negara lain (misal penggunaan GMO diizinkan[65][66]) namun ekspor jeruk dan jus jeruk Kuba ke Uni Eropa memenuhi standar organik Uni Eropa. Kuba akan tetap mempertahankan pertanian organiknya dan menjadi penyuplai utama bahan pangan organik di dunia.[67]
Sebuah studi yang dilakukan di Kabupaten Bogor terhadap petani yang menanam padi organik ditemukan bahwa petani organik cenderung lebih sejahtera.[68]