Departemen Pertanian telah menyusun standar pertanian organik di Indonesia yang tertuang dalarn SNI 01‑6729‑2002 (BSN, 2002). SNI sistem pangan organik ini merupakan dasar bagi lembaga sertifikasi yang nantinya juga harus diakreditasi oleh Deptan melalui PSA (Pusat Standarisasi dan Akreditasi). SNI sistern pangan organik diadopsi dengan mengadopsi seluruh materi dalam dokumen standar CAC/GL 32 ‑ 1999, Guidelines for the production, processing, labeling and marketing of organikally produced food dan dimodifikasi sesuai dengan
kondisi Indonesia. Bila dilihat kondisi petani di Indonesia, hampir tidak mungkin mereka mendapatkan label sertifikasi dad suatu lembaga sertifikasi asing maupun dalam negeri. Luasan lahan yang dimiliki serta biaya sertifikasi yang tidak terjangkau, menyebabkan mereka tidak mampu mensertifikasi lahannya. Satu‑satunya jalan adalah membentuk suatu kelompok petani organic dalam suatu kawasan yang luas yang memenuhi syarat sertifikasi, dengan demikian mereka dapat membiayai sertifikasi usaha tani mereka secara gotong royong. Namun ini pun masih sangat tergantung pada kontinuitas produksi mereka (Husnain et al., 2005).
Ada beberapa unsur yang harus diperhatikan dalarn pertanian organik, yaitu (a) sumber daya lahan, (b) benih, (c) pemupukan, (d) pengendalian OPT secara terpadu, (e) pola tanam.
Tabel 1. Sumber bahan organik yang umum dimanfaatkan sebagai pupuk organik
No. | Sumber bahan organik | Asal bahan organik | Jenis bahan organic |
1 | Pertanian | Limbah dan residu tanaman
Limbah dan residu ternak Pupuk hijau Tanaman air Penambat nitrogen |
Jerami dan sekam padi, gulma, daun, batang dan tongkol jagung, sernua bagian vegetatif tanaman, batang pisang, sabut kelapa.
Gliricidia, terano, mikoriza, turi, lamtoro,centrosoma. Azola, ganggang biru, rumput laut, enceng gondok, gulma air. Mikroorganisme, mikroriza, rhizobium, |
2 | Industri | Limbah padat | Serbuk gergaji kayu, blotong, kertas, ampas tebu, kelapa sawit, pengalengan makanan, pernotongan hewan |
3 | Limbah rumah tangga | Sampah | Sampah dapur dan sampah pernukiman |
Sumber: Anonim (2007a)
A
Sumber Daya Lahan
Untuk pertanian organik, lahan yang digunakan harus bebas dad bahan kimia sintetis (pupuk dan pestisida). Bila lahan tersebut pernah digunakan untuk pertanian non organic (kovensional), harus dikonversi ke lahan organik secara bertahap selama 1‑2 tahun ‑3naman musiman dan 3 tahun untuk tanaman keras. Lokasi untuk pertanian organik harus dipilih yang strategis, yaitu mudah dijangkau, keamanan terjamin, tersedia sumber air.
Menurut Abdurahman et al. (2002), lahan yang dapat langsung digunakan untuk pertanian organik adalah lahan‑lahan yang tidak tercemar oleh bahan‑bahan agrokimia sampai melewati ambang batas, yaitu :
– Lahanusaha tani tanaman tahunan (tanaman industri dan buah‑buahan), skala kecil yang dikelola oleh petani dengan tidak atau sedikit menggunakan pupuk dan pestisida.
– Lahan usaha tani tanaman semusim atau tanaman pangan yang dikelola secara tidak intensif.
– Lahan yang pada saat ini bera atau belum diusahakan secara intensif dan mempunyai potensi untuk
pengembangan pertanian organik (lahan alang0alang, tegalan, pekarangan).
Benih
Benih untuk budidaya organik adalah benih terpilih hasil dad produk pertanian organik tidak boleh berasal l dari produk rekayasa genetik (Genetically Modified Organism/GMO). Apabila tidak tersedia benih dad pertanaman organik, benih konvensional dapat digunakan dengan batasan tertentu, misalnya sebalum ditanam benih tidak diperlakukan dengan senyawa kirniia. Tersedia variatas unggul tahan OPT tertentu, yang dihasilkan melalui pemuliaan konvensional akan mendukung pertanian organik secara signifikan. Artinya, dengan menggunakan varietas tahan, akan mengurangi resiko serangan OPT sehingga penggunaan pestisida kimia dapat dihindari.
Pemupukan
Salah satu dad prinsip pertanian berwawasan lingkungan adalah mengoptimalkan penggunaan sumberdaya lahan termasuk biodiversitas, siklus biologi dan aktifitas biologi tanah, melalui penggunaan pupuk alami hasil dekomposisi mikroba. Sumber‑sumber bahan organic yang tersedia di lokasi perlu dioptimalkan penggunaannya. Beberapa jenis sumber bahan organic yang dimaksud disajikan pada Tabel 1, sedangkan kadar hara dari bahan organik disajikan
Tabel 2. Kadar hara bahan organik
Kadar hara (%) | |||
Bahan organik |
N
|
P206
|
K20
|
Residu tanaman(jerami padi) |
0,5-0,8
|
0,15-0,26
|
1,2-1,7
|
Pupuk kandang |
0,8-1,2
|
0,44-0,88
|
0,4-0,8
|
Kompos |
0,5-2,0
|
0,44-0,88
|
0,4-1,5
|
Kotoran pada saluran air |
1,6
|
1,76
|
0,2
|
Pupuk kandang babi |
0,7-1,0
|
0,44-0,66
|
0,6-0,9
|
Pupuk kandang domba dan kambing |
2,0-3,0
|
0,88
|
2,1
|
Pupuk kandang unggas |
1,5-3,0
|
1,15-2,25
|
1,0-1,4
|
Bungkil |
2,5-8,0
|
0,66-2,86
|
1,2-2,3
|
Pupuk tumbuhan: | |||
— Sesbania |
1,7-2,8
|
0,1-0,2
|
1,4-1,9
|
:7Azola |
2,0-5,3
|
0,16-1,59
|
0,4-0,6
|
Pengendalian OPT secaraTeipadu
Dampak negatif penggunaan pestisida di dalam sistern pertanian konvensional, ‑adap kngkungan telah banyak diketahui. Oleh karena itu dalarn konsep pertanian organik, ‑’iian OPT dilakukan secara terpadu di antaranya dengan penanaman varietas tahan, anfaatan musuh alami dan agens hayati, serta perbaikan pola tanam.
Pola Tanam
Setiap sistern pertanaman mempunyai kelebihan tersendid, namun apapun sistern tamm yang akan diadopsi harus bersifat sinergis baik terhadap tanaman utarna maupun tanaman lainnya. Secara urnum penerapan pola tanam diharapkan akan meningkatkan produksi :anaman utarna, menambah kesuburan tanah, mengurangi resiko kegagalan akibat OPT dan meningkatkan hasil usaha tani (Anonim., 2007a),
TEKNOLOGI BUDIDAYA JAHE ORGANIK
Gema pertanian organik lebih mencuat setelah disadari bahwa penggunaan input‑input dalarn budidaya tanaman, khususnya pestisida dan pupuk sintetik ternyata sangat berlebihan sehingga menimbulkan dampak yang merugikan pada tanah, lingkungan dan produksi tanaman. Penggunaan pestisida dan pupuk sintetik yang berlebihan meningkatkan resiko terhadap kanker, mikroorganisme tanah dan cacing tanah sehingga menurunkan kesuburan tanah. Jurnlah pestisida dan pupuk sintetik yang terdaftar di dunia selarna periode 1945‑1975 meningkat berlipat ganda. Pada tahun 1995 tercatat sebanyak 5,2 juta ton pestisida yang digunakan, dua pertiganya digunakan di negara maju seperti Arnerika Serikat dan Eropa, sedangkan di India tercatat sebanyak 80 ribu ton pestisida (FAO, 1999). Penggunaan pupuk sintetik juga sudah digunakan secara meluas untuk meningkatkan produktivitas tanaman guna memenuhi kebutuhan konsumen.
Pada budidaya jahe, pernupukan mernegang peranan penfing untuk meningkatkan hasil, dernikian juga penggunaan pestisida dalarn pengendalian OPT. Untuk mewujudkan keberhasilan dalarn budidaya jahe organik, beberapa faktor penting perlu diperhatikan.
Zone Penyangge
Untuk mernisahkan antara pertanian jahe organik dengan yang bukan organik, perlu dibuat suatu zona penyangga atau pernbatas disekeliling pertanaman. Lebar zona pembatas sekitar 25‑50 kaki setara dengan 7,62‑15,24 m (Anonim., 2007b), tergantung dari kondisi lahan setempat. Zona penyangga tetap dapat ditanamai baik dengan tanaman jahe maupun tanaman lainnya. Bila ditanarni dengan dengan tanaman jahe, maka rimpang yang dihasilkan tidak dimasukkan sebagai produk jahe organik. Dernikian pula hasil panen dad tanaman lainnya pada zona penyangga juga harus dikategorikan sebagai produk non organik. IdeaInya tanaman yang ditanarn pada zona pernbatas memiliki karakter tinggi tanaman pada zona pernbatas memiliki karakter tinggi tanaman 2 kali lipat dari tinggi tanaman jahe organik. Untuk itu maka tanaman jagung merupakan salah satu contoll tanaman yang dapat ditanarn pada zona penyangga pada tanaman jahe organik.
Lahan
Anjuran penanaman jahe secara urnum dilakukan pada lahan yang belum pernah ditanami dengan tanaman‑tanaman Zingiberaceae. Hal ini terutarna untuk menghinclad penumpukan populasi OPT tular benih clan tular tanah, terutarna Ralstonis solanacearurn di lahan pertanaman. Persyaratan urnum dalam pertanian organik yang perlu diperhatikan adalah lahan yang digunakan perlu dikonversi terlebih dahulu sekurang‑kurangnya selama 2 tahun (Anonim., 2007b). Budidaya pada lahan yang sedang dikonversi untuk pertanian organik, maka sernua peralatan budidaya yang sebelumnya digunakan pada lahan tradisional harus dibersihkan sebelum dipakai pada lahan yang sedang dikonversi. Atau, untuk amannya maka harus ada peralatan khusus yang disediakan untuk dipakai hanya pada lahan yang sedang dikonversikan untuk lahan pertanian organik.
Dalam persiapan lahan, penggunaan mulsa plastik dapat menjadi alternatif baik untuk mengurangi perturnbuhan gulma maupun sebagai fasilitas solarisasi untuk mereduksi mikroba patogen tular tanah, terutarna pada lapisan olah. Sisa‑sisa mulsa plastik harus dibersihkan supaya tidak menjadi kontarninan pada produk organik yang akan dihasilkan.
Benih
ldealnya benih jahe yang digunakan untuk pertanian organik berasal dad lahan yang menerapkan kaidah‑kaidah pertanian organik juga. Kondisi ideal ini kemungkinan sangat sulit diperoleh pada saat ini karena hampir sernua sistern pertanaman jahe masih menggunakan input pupuk sintetik sperti N, P clan K. Dernikian pula cara‑cara pengendalian OPT masih mengandalkan bahan‑bahan bukan organik. Dengan dernikian maka benih drnpang jahe hasil produksi jahe tradisional dapat cligunakan. Namun, perlakuan benih untuk pengendalian OPT tular benih tidak boleh menggunakan pestisida sintetik. Sumber benih jahe hasil dari proses kultur jaringan, kultur pollen clan rekayasa genetik atau tanaman transgenik (GMO) ticlak boleh cligunakan.
Salah satu upaya dapat dilakukan dalarn pertanian organik jahe adalah menyediakan bibit unggul tahan OPT, sehingga clapat menghinclad penggunaan pestisida. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik telah melepas varietas unggul jahe putih besar (Cimanggu 1), Jahe putih kecil (Halina 1, Halina 2, Halina 3 clan Halina 4) serta jahe merah (Jahira 1 dan Jahira 2). Namun, ketujuh vadetas unggul tersebut rentan terhadap OPT, terutarna penyakit layu yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum. Sehingga pengadaan benih untuk pertanian organik perlu dilakukan dengan pendekatan lain.
Hasil penelitian Hasanah et al., (2004) tentang perbenihan tanaman jahe di beberapa petani di Sukabumi clan Majalengka, menunjukkan bahwa disamping serangan OPT yang dapat mencapai 50%, kendala lain yang ditemukan adalah kesulitan memperoleh benih dalam jumlah yang besar, kerusakan fisik yang relatif tinggi (10‑25%), 10‑25% benih bertunas dalam penyimpanan, benih susut sebesar 15‑50%. Kondisi demikian menyebabkan minat petani untuk memproduksi jahe secara khusus untuk benih masih renclah karena ternyata usaha benih jahe beresiko tinggi sedangkan harga benih belum sesuai clan sangat fluktuatif.
Teknologi produksi benih jahe dalam budidaya jahe tradisional atau non organik seperti clikemukakan oleh Sudiarto et al. (1977), masih clapat diacu untuk penyediaan benih jahe pada pertanian jahe organik dengan melakukan modifikasi sesuai dengan persyaratan produksi pertanian organik. Rekomenclasi untuk pemenuhan kebutuhan benih rimpang jahe untuk pertanian organik adalah dengan cara mengambil dari pertanaman jahe sehat berumur 9‑10 bulan, kondisi fisik rimpang mengkilat, bersih, ticlak cacat clan bebas OPT. Setiap unit benih rimpang bobotnya 45‑60 g clan memiliki masa tunas yang suclah mentis, kadar air 81‑86% clan kadar karbohidrat 4649% (Januwati et al., 1991).
Pemupukan
Kebutuhan pupuk termasuk pupuk Organik pada tanaman jahe cukup tinggi, karena jahe clikenal tanaman yang banyak menguras hara, terutama N clan K. Teknologi rekomenclasi untuk budidaya organik jahe seperti pada Tabel 3.
Sumber bahan organik lain yang potensial digunakan sebagai pupuk dalarn budidaya jahe organik adalah : campuran kompos dedak kopi clan pupuk kandang (4:1) (Sudiarto clan Gusmaini, 2004); kompos Crotalaria usaramoensis, C. anagyroides, Tephrosia candida clan T. vogli (Yo dalam Sudiarto clan Gusmaini, 2004); humus (Gusmaini clan Trisilawati, 1998) dan kotoran cacing tanah atau kasting (Rosita et al., 2006). Humus merupakan hasil proses clekomposisi sisa‑sisa tanaman oleh berbagai jenis mikroorganisme tanah. Salah satu unsur yang diyakini terclapat dalam humus yang bersifat dapat meningkatkan produksi rimpang jahe adalah asam fulvat clan asam humat (Djazuli et al., 2001; Darwati et al., 1998). Seclangkan kasting adalah hasil ekskresi cacing tanah yang banyak mengandung substansi humus.
Tabel 3. Teknologi pernupukan anjuran untuk budidaya jahe organic
Varietas Jahe | Rekomendasi teknologi | Sumber |
Jahe putih besar | Kompos 60-80 ton/ha (1,5-2 kg/tanaman), pada | Anonim, 2007c |
awal tanam. Pupuk sisipan urnur 2-3 bulan, 4-6 | ||
bulan, 8-10 bulan, masing-masing 2-3 | ||
kg/tanaman. | ||
Jahe putih kecil | ||
Kompos 60-80 ton/ha (1,5-2 kg/tanaman), pada |
Anonim., 2007c
|
|
awal tanam. Pupuk sisipan urnur 2-3 bulan, 4-6 | ||
bulan, 8-10 bulan, masing-masing 2-3 | ||
kg/tanaman | ||
Jahe merah | Bokasi 10 ton/ha + pupuk bio 140 kg/ha + zeolit |
Anonim., 2006
|
400 kg/ha + fosfat alarn 200 kg/ha |
Pengendatian OPT
Pada tanaman jahe, ada beberapa jenis; OPT yang dapat mengakibatkan kerugian sampai fatal (gagal panen). Di antara OPT dapat tedadi interaksi sehingga kerusakan yang ditimbulkan menjadi lebih besar. Jenis‑jenis OPT tersebut antara lain adalah Ralstonia solanacearum yang menyebabkan penyakit layu bakteri, Meloidogyne sp. (buncak akar), lalat rimpang (Mirnegralla coeruleifrons, Eurnerus figurans), kutu perisai (Aspediella hartii), dan bercak daun (Phyllosticta sp.).
Tabel 4. OPT utarna pada tanaman jahe dan teknik pengendalian anjuran
OPT | Jenis Kerusakan | Teknik Pengendalian | |
Layu bakteri | Tanaman mati dan rimpang busuk | 1 . Bibit diambil dad tanaman induk sehat | |
(Ralstonia | |||
solanacearum | 2. Antagonis (Pseudomonas | ||
florecens, P. cepacia dan Bacillus | |||
sp.) dikombinasikan dengan | |||
kompos (misal BIOTRIBA). | |||
3. Pestisida nabati (tepung gambir | |||
dan temulawak) | |||
Buncak akar | Akar luka sehingga penyerapan | 1 . Bibit diambil dad tanaman induk | |
(Meloidogyne sp.), | hara terganggu dan patogen tanah | sehat. | |
luka akar | mudah masuk | 2. Pasteuria penetrans (2-5 | |
(Radopholus similis) | kapsulttan/6 bulan | ||
3. Tepung biji mimba (25-50g/tan/3 | |||
bulan) | |||
4. Mulsa (10-20 ton/ha) | |||
Bercak daun (Phyllosticta sp.) | optimal, tanaman kerdil | 2. Minyakcengkeh(10%) | |
Busuk kering rimpang | Tanaman mati dan akar busuk | 1 . Bibit diambil dad tanaman induk | |
(Sclerotium sp., | sehat | ||
Rhizoctonia sp., | |||
Fusarium sp.) | |||
Lalat rimpang | Rimpang keriput dan busuk | 1 . Pedakuan benih dengan air panas | |
(Mimegralla | 500 selama 10 menit. 400 C selama | ||
coeruleifrons, | 20 menit; atau dengan insektisida | ||
Eumerus figurans) | botani seperti ekstrak mimba 2,5%) | ||
dan ekstrak bungkil jarak (2,5%) | |||
Kutu perisai | Cairan tanamn dan rimpang terisap | Pedakuan benih dengan air panas 500C | |
(Aspidiella hartii) | dan kering | selama 10 menit atau dengan | |
insekfisida botani (seperti ekstrak | |||
mimba 2,5% dan ekstrak bungkil jarak | |||
2,5%). |
Hampir semua OPT tersebut dapat ditularkan melalui benih. Dengan demikian maka penggunaan benih yang bebas OPT merupakan suatu keharusan, baik pada pertanaman jahe tradisional maupun jahe organic. Beberapa alternatif teknologi pengendalian OPT sudah dihasilkan walaupun pada penerapannya di lapangan masih banyak ditemukan kesulitan, baik kesulitan dalam penyediaan bahan baku yang dipedukan maupun efektifitasnya masih kurang optimal.
Polatanam
Berbagai sistern tanam, seperti tumpang gilir (multiple cropping), tanaman pendamping (companion planting), tanaman campuran (mixed cropping), tumpang sad (intercroping), penanaman lorong (alley cropping) dan penggiliran tanaman (rotasi) dapat dilakukan pada budidaya jahe organik. Tanaman jahe organik dapat ditanam dengan tanaman lain, selama tanaman tersebut juga dipedakukan sebagai tanaman organik. Untuk meningkatkan peluang keberhasilan produksi jahe organik, penerapan sistern campuran tanaman sangat dianjurkan. Jenis‑jenis tanaman yang dipolatanamkan hendaknya telah memperhatikan beberapa aspek teknik sebagai berikut : Pertama, tidak menanam dengan jenis tanaman yang memiliki resiko terserang OPT yang sama. Dengan demikian penanaman dengan tanaman sesama famili Zingiberaceae,seperti kunyit, kencur, temu lawak, bangle, temu ireng dan sebagainya yang memiliki OPT yang sama dengan jahe (Supriadi, 2006) sama sekali tidak dianjurkan. Tanaman yang sudah terbukti potensial untuk mengurangi populasi Ralstonia solanacearum adalah kelompok Brassicaceae karena dapat bersifat sebagai biofumigan dan mengandung glukosinolat (Akiew dan Trevorrow, 1977). Tanaman dad Brassicaceae setelah proses dekomposisi di dalam tanah, akan menghasilkan 2‑phenilethhyl isothiocynate yang mampu menurunkan populasi bakteri layu. Lobak (Raphanus sativus) sebagai kompos berhasil menekan perkembangan bakteri layu di dalam tanah dan menghasilkan pertanaman jahe sehat berproduksi tinggi di Hawai (Johnson dan Shaffer, 2003). Kedua, pernilihan jenis tanaman yang dapat menambat hara secara alami, seperti tanaman legum, sangat dianjurkan. Dalam praktek budidaya jahe tradisional (bukan jahe organik) beberapa petani di Surnedang, Sukabumi dan Boyolali sudah mempraktekkan pola tanam jahe dengan tanaman kacang tanah, jagung, padi, kubis, kucai ataukacang panjang ternyata hasilnya mernuaskan baik produktivitas rimpang jahenya maupun hasil tanaman lainnya. Di India, pola tanam jahe‑pisang‑legum atau jahe‑sayuran‑legum merupakan pola yang sering digunakan dan dianjurkan petani (Anonim., 2007b).
Arigatou Gozaimasu :)
Sumber : https://uwityangyoyo.wordpress.com/2009/05/22/kesiapan-teknologi-mendukung-pertanian-organik-tanaman-obat-kasus-jahe-zingiber-officinale-rosc/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar